Jumat, 05 Juli 2013

TUPOKSI, RUANG LINGKUP, HUKUM ACARA DAN KOMPETENSI

TUPOKSI, RUANG LINGKUP, HUKUM ACARA DAN KOMPETENSI
PENGADILAN NIAGA DI INDONESIA
 


AMSERVE – Ary Brotodihardjo


I.                   LATAR BELAKANG

Peraturan mengenai kepailitan telah ada sejak masa lampau, dimana para kreditor menggunakan pailit untuk mengancam debitor agar segera melunasi hutangnya. Semakin pesatnya perkembangan ekonomi menimbulkan semakin banyaknya permasalahan utang-piutang di masyarakat.

Adanya dua buah peraturan kepilitan yaitu Buku Ketiga KUHDagang yang mengatur tentang kepailitan bagi pedagang/pengusaha dan ketentuan dalam Rv bagi mereka yang bukan pedagang/pengusaha dalam pelaksanaannya telah menimbulkan banyak kesilutan, diantaranya ialah : [1]

1.             Banyak formalitas yang harus ditempuh

2.             Biaya tinggi

3.             Terlalu sedikit bagi kreditur untuk dapat ikut campur terhadap jalannya proses kepailitan; dan

4.             Pelaksanaan kepilitan memakan waktu yang lama. Dengan berlakunya Faillisementverodening/Peraturan Kepailitan (S. 1905-217 juncto S. 1906-348) tersebut, maka dicabutlah :

a.             Seluruh buku ketiga WvK/KUHDagang dan
b.             Reglement op de Rechtsvordering/Rv buku Ketiga, Bab Ketujuh, pasal 899 sampai dengan Pasal 915.
Di Indonesia, pada saat ini, Undang-Undang yang  digunakan untuk menyelesaikan permasalahan kepailitan adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan”).
Pengadilan Niaga sebagai Lembaga Penyelesaian Perkara Kepailitan
Pembentukan peradilan niaga
yang pertama adalah Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tahun 1998.

           Pada awalnya, kompetensi absolut Pengadilan Niaga terbatas hanya mengadili perkara-perkara berdasarkan Undang-Undang Kepailitan yang baru. Namun pada tahun 2001, kompetensi tersebut diperluas sehingga mencakup kewenangan untuk mengadili perkara Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).

Pengadilan Niaga Jakarta Pusat merupakan satu diantara lima Pengadilan Niaga lainnya di Indonesia. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat adalah Pengadilan Niaga pertama yang dibentuk berdasarkan Pasal 306 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 jo Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 jo Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Keempat lainnya yaitu di Semarang, Surabaya, Medan dan Makassar  yang didirikan berdasarkan keputusan Presiden No. 97 Tahun 1999. Persidangan perkara di Pengadilan Niaga adalah meliputi perkara Kepailitan, PKPU dan gugatan dalam perkara perlindungan hak atas kekayaan intelektual yaitu: hak cipta, merek, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu dan paten.

II.                   PENGERTIAN KEPAILITAN DAN SYARAT KEPAILITAN

Pengertian dari bangkrut atau pailit menurut Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan antara lain,  keadaan dimana seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan bankrupt dan yang aktivanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utang-utangnya.

Sedangkan,  kepailitan menurut UU Kepailitan diartikan sebagai sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.

Bilamana suatu perusahaan dapat dikatakan pailit,  menurut UU Kepailitan adalah jika suatu perusahaan memenuhi syarat-syarat yuridis kepailitan. Syarat-syarat tersebut menurut Pasal 2 UU Kepailitan meliputi adanya debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan.

Kreditor dalam hal ini adalah kreditor baik konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen. Sedangkan utang yang telah jatuh waktu berarti kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihan sesuai perjanjian ataupun karena putusan pengadilan, arbiter atau majelis arbitrase.

Permohonan pailit menurut UU Kepailitan dapat diajukan oleh debitor, satu atau lebih kreditor, jaksa, Bank Indonesia, Perusahaan Efek atau Perusahaan Asuransi.

III.                   WILAYAH HUKUM PENGADILAN NIAGA

Sesuai dengan KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 97 TAHUN 1999 TENTANG PEMBENTUKAN PENGADILAN NIAGA PADA PENGADILAN NEGERI UJUNG PANDANG, PENGADILAN NEGERI MEDAN, PENGADILAN NEGERI SURABAYA, DAN PENGADILAN NEGERI SEMARANG, adalah sebagai-berikut :

1.             Pasal 2 (1) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang meliputi Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya.
2.             Pasal 2 (2) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan meliputi Wilayah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, dan Daerah Istimewa Aceh.
3.             Pasal 2 (3) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya meliputi Wilayah Propinsi Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur.
4.             Pasal 2 (4) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang meliputi Wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
5.             Pasal 5, Pengadilan Niaga pada  Pengadilan Negeri Jakarta Pusat meliputi Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Propinsi Jawa Barat, Sumatera Selatan, Lampung, dan Kalimantan Barat.

IV.                   Kedudukan dan Dasar Hukum Pengadilan niaga dalam kepailitan

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998
terdapat tambahan satu bab baru yaitu Bab Ketiga mengenai Pengadilan Niaga. Pembentukan peradilan khusus ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah kepailitan secara cepat dan efektif.
Pengadilan Niaga merupakan diferensiasi atas peradilan umum yang dimungkinkan pembentukanya berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang merupakan pembaharuan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, tidak mengatur Pengadilan Niaga pada bab tersendiri, akan tetapi masuk pada Bab V tentang Ketentuan Lain-lain mulai dari Pasal 299 sampai dengan Pasal 303.

Demikian juga dalam penyebutannya pada setiap pasal cukup dengan menyebutkan kata “Pengadilan” tanpa ada kata “Niaga” karena merujuk pada Bab I tentang Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 7 bahwa Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam Lingkungan peradilan umum.

Dasar Hukum Kepailitan  :

Undang-undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004 Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 31.

Perundangan diluar UUK, adalah :

·                KUHPerdata, misalnya Pasal 1139, 1149, 1134 dan lain-lain.
·                KUHPidana, misalnya Pasal 396,397,398,399,400,520 dan lain-lain.
·                Undang-undang PT No.1 Tahun 1995, misalnya Pasal 79 ayat (3), Pasal 96, Pasal 85 ayat (1) dan (2), pasal 3 ayat (2) huruf b,c dan d, Pasal 90 ayat (2) dan (3), Pasal (3), Pasal 98 ayat (1), dan lain-lain.
·                Undang-undang tentang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996. e. Peraturan Perundang-undangan di bidang Pasar modal, Perbankan, Perusahaan BUMN dan lain-lain.

V.                        Tugas dan Wewenang Pengadilan Niaga

Tugas dan Wewenang Pengadilan Niaga ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 diatur dalam Pasal 280, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 diatur pada Pasal 300. Pengadilan Niaga merupakan lembaga peradilan yang berada di bawah lingkungan Peradilan Umum yang mempunyai tugas sebagai berikut (Rahayu Hartini, 2008 : 258 ) :

1.             Memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailit;
2.             Memeriksa dan memutuskan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
3.             Memeriksa perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya ditetapkan dengan undang-undang, misalnya sengketa di bidang HAKI.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 juga mengatur tentang kewenangan Pengadilan Niaga dalam hubungannya dengan perjanjian yang mengadung klausula arbitrase. Dalam Pasal 303 ditentukan bahwa Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tentang syarat-syarat kepailitan.
Ketentuan pasal tersebut dimaksudkan untuk memberi penegasan bahwa Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak, sekalipun perjanjian utang piutang yang mereka buat memuat klausula arbitrase.

VI.                   Kompetensi Pengadilan Niaga

1.             Kompetensi Relatif

Kompetensi relatif merupakan kewenangan atau kekuasaan mengadili antar Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga sampai saat ini baru ada lima. Pengadilan Niaga tersebut berkedudukan sama di Pengadilan Negeri. Pengadilan Niaga hanya berwenang memeriksa dan memutus perkara pada daerah hukumnya masing-masing.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa putusan atas permohonan pernyataan pailit diputus oleh Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum Debitor, apabila debitor telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia, maka Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir Debitor.
Dalam hal debitor adalah pesero suatu firma, Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang memutuskan.

Debitur yang tidak berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat Debitor menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia. Dalam hal Debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya.[2]

2.             Kompetensi Absolut

Kompetensi absolut merupakan kewenangan memeriksa dan mengadili antar badan peradilan. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur tentang badan peradilan beserta kewenangan yang dimiliki. Pengadilan Niaga merupakan pengadilan khusus yang berada di bawah Pengadilan umum yang diberi kewenangan untuk memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Selain itu, menurut Pasal 300 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, Pengadilan Niaga juga berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang. Perkara lain di bidang perniagaan ini misalnya, tentang gugatan pembatalan paten dan gugatan penghapusan pendaftaran merek. Kedua hal tersebut masuk ke dalam bidang perniagaan dan diatur pula dalam undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

Dengan kompetensi absolut ini maka hanya Pengadilan Niaga sebagai satu-satunya badan peradilan yang berhak memeriksa dan memutus perkara-perkara tersebut.[3]

3.             Kompetensi Ketua Mahkamah Agung

Ketua Mahkamah Agung mempunyai kewajiban untuk melakukan pembinaan dan pembimbingan dan mempunyai wewenang untuk mengambil langkah-langkah dalam rangka menerapkan prinsip-prinsip hukum peradilan pada peradilan niaga, antara lain:

a.             Prinsip kesinambungan

Penyelenggaraan persidangan dalam pengadilan niaga harus dilakukan berkesinambungan,

b.             Prinsip persidangan yang baik

Putusan yang akan dibacakan oleh pengadilan niaga
harus sudah dibuat secara tertulis.

c.             Prinsip pengarsipan

Putusan dapat diterbitkan secara berkala.

VII.                   Hukum Acara di Pengadilan Niaga

Pasal 299 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa “kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata (HIR/RBg).” Hukum acara yang dipakai Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan pada dasarnya tetap berpedoman pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 ..
Hukum acara di Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan mempunyai ciri yang berbeda, antara lain (Martiman Prodjohamidjojo, 1999 : 11-13) :

1.             Acara dengan Surat :

Acara perdata di muka Pengadilan Niaga berlaku dengan tulisan atau surat (schiftelijke procedure). Acara dengan surat berarti bahwa pemeriksaan perkara pada pokoknya berjalan dengan tulisan. Akan tetapi, kedua belah pihak mendapat kesempatan juga untuk menerangkan kedudukannya dengan lisan.

2.             Kewajiban dengan Bantuan Ahli

Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mewajibkan bantuan seorang ahli hukum. Adapun dasar yang menjadi pertimbangan ketentuan tersebut adalah bahwa di dalam suatu proses kepailitan dimana memerlukan pengetahuan tentang hukum dan kecakapan teknis, perlu kedua pihak yang bersengketa dibantu oleh seorang atau beberapa ahli yang memiliki kemampuan teknis, agar segala sesuatunya berjalan dengan layak dan wajar.

3.             Model Liberal-Individualistis

Hukum acara dalam proses kepailitan berpangkal pada pendirian bahwa hakim pada intinya pasif. Hakim hanya mengawasi supaya peraturan-peraturan acara yang ditetapkan dengan undang-undang dijalankan oleh kedua belah pihak. Acara demikian adalah model liberal-individualistis.

4.             Pembuktian Sederhana

Pemeriksaan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga berlangsung lebih cepat, hal ini dikarenakan Undang-Undang Kepailitan memberikan batasan waktu proses kepailitan. Selain itu, lebih cepatnya waktu pemeriksaan perkara di Pengadilan Niaga antara lain dipengaruhi oleh sistem pembuktian yang dianut, yaitu bersifat sederhana atau pembuktian secara sumir, ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan.
Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta yang terbukti secara sederhana bahwa pernyataan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi. Pembuktian hanya meliputi syarat untuk dapat dipailitkan yaitu, adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, adanya kreditor yang lebih dari satu serta adanya fakta bahwa debitor atau termohon pailit telah tidak membayar utangnya.
Sifat pembuktian yang sederhana dapat digunakan hakim niaga sebagai alasan untuk menolak permohonan pailit yang diajukan kepadanya. Hakim dapat menyatakan bahwa perkara yang diajukan itu adalah perkara perdata biasa. Jika suatu perkara dikategorikan hakim niaga sebagai perkara yang pembuktiannya berbelit-belit, maka hakim dapat menyatakan bahwa kasus itu bukan kewenangan Pengadilan Niaga.

5.             Waktu pemeriksaan yang terbatas

Pembaharuan yang tak kalah penting dari Undang-Undang Kepailitan ialah tentang pemeriksaan yang dibatasi waktunya. Undang-Undang Kepailitan menentukan batas waktu pemeriksaan serta tenggang waktu yang pasti tentang hari putusan pailit harus diucapkan.
Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa Putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.

6.             Putusan bersifat serta merta (UVB)

Menurut Pasal 8 ayat (7) Undang-Undang Kepailitan, putusan atas permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut masih diajukan upaya hukum. Undang-Undang Kepailitan mewajibkan kurator untuk melaksanakan segala tugas dan kewenangannya untuk mengurus dan atau membereskan harta pailit terhitung sejak putusan pernyataan pailit ditetapkan. Meskipun putusan pailit tersebut di kemudian hari dibatalkan oleh suatu putusan yang secara hierarkhi lebih tinggi.[4]
Semua kegiatan pengurusan dan pemberesan oleh kurator yang telah dilakukan terhitung sejak putusan kepailitan dijatuhkan hingga putusan tersebut dibatalkan, tetap dinyatakan sah oleh undang-undang.

7.             Klausula Arbitrase

Eksistensi Pengadilan Niaga, sebagai Pengadilan yang dibentuk berdasarkan Pasal 280 ayat (1) Perpu No. 1 tahun 1998 memiliki kewenangan khusus berupa yurisdiksi substansif eksklusif terhadap penyelesaian perkara kepailitan. Yurisdiksi substansif eksklusif tersebut mengesampingkan kewenangan absolut dari Arbitrase sebagai pelaksanaan prinsip pacta sunt servanda yang digariskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang telah memberikan pengakuan extra judicial atas klausula Arbitrase untuk menyelesaikan sengketa para pihak sebagaimana telah diperjanjikan.
Sehingga, walaupun dalam perjanjian telah disepakati cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase, Pengadilan Niaga tetap memiliki kewenangan memeriksa dan memutus. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 300 Undang-Undang Kepailitan.

8.             Tidak tersedia Upaya Banding

Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007 dengan tegas menyatakan bahwa Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung. Jadi, terhadap putusan pada Pengadilan Niaga tingkat pertama tidak dapat diajukan upaya hukum banding.

9.             Hakim Pengadilan Niaga

Pengadilan Niaga dalam memeriksa dan memutus perkara Kepailitan atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pada tingkat pertama dilakukan oleh Majelis Hakim. Dalam hal menyangkut perkara lain di bidang perniagaan, Ketua Mahkamah Agung dapat menetapkan jenis dan nilai perkara yang pada tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal, ketentuan ini terdapat dalam Pasal 301 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004.
Hakim Pengadilan Niaga diangkat melalui Keputusan Ketua Mahkamah Agung. Syarat Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Niaga harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 302, antara lain :

a.             Telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan Peradilan Umum;
b.             Mempunyai dedikasi dan mengusai pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga;
c.             Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakukan tidak tercela; dan
d.             Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada Pengadilan.
Ketentuan-ketentuan di atas hanyalah dapat dipenuhi oleh hakim karier saja, namun Undang-Undang Kepailitan juga memberikan peluang adanya hakim Ad Hoc dengan syarat-syarat sebagai berikut :

a.             Mempunyai keahlian;
b.             Mempunyai dedikasi dan mengusai pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga;
c.             Berwibawa, jujur, adil,dan berkelakukan tidak tercela; dan
d.             Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada Pengadilan.

Berbeda dengan hakim karier, pengangkatan hakim ad hoc tersebut berdasarkan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung baik pada tingkat pertama, kasasi maupun peninjauan kembali. Dalam menjalankan tugasnya, hakim pengadilan niaga dibantu oleh seorang panitera atau panitera pengganti dan juru sita.[5]

VIII.                   PKPU (PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG)
Tentang penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) diatur dalam bab ketiga Undang-Undang No.37 tahun 2004 yaitu dalam Pasal 224-294 UUK.

1.             Maksud dan Tujuan PKPU

Dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepad kreditor.
Pasal 222 UUK ini dapat diartikan bahwa maksud dari penundaan kewajiban pembayaran utang pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditur konkuren, sedangkan tujuannya adalah untuk kreditur konkuren, sedangkan tujuannya adalah untuk memungkinkan seseorang debitor meneruskan usahanya meskipun ada kesukaran pembayaran dan untuk menghindari kepailitan.
Yang berhak mengajukan PKPU (permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang) adalah :

a.        Debitor
b.        Kreditor
c.        Bank Indonesia dalam hal debitor adalah bank
d.        Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) dalam hal debitor adalah perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
e.        Menteri keuangan dalam hal debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang kepentingan public.

2.             Akibat putusan PKPU

Dengan dikabulkannya permohonan PKPU (PKPU sementara) maka berlakulah hal-hal sebagai berikut :

a.             Selama PKPU berlangsung, terhadap debitor tidak dapat diajukan permohonan pailit.
b.             Diangkat seorang Hakim Pengawas yang tugasnya mirip dengan Hakim Pengawas dalam Kepailitan,
c.             Diangkatnya seorang atau lebih pengurus yang bertugas melakukan pengawasan terhadap kekayaan debitor,
d.             Debitor tetap dapat melakukan tindakan pengurusan dan pengalihan atas kekayaanya asalkan mendapat persetujuan pengurus,
e.             Tindakan debitor atas kekayaannya tanpa persetujuan Pengurus adalah tidak mengikat kekayaannya.

3.             Berakhirnya PKPU

a.             Atas permintaan hakim pengawas,

b.             Atas permintaan satu atau lebih kreditor,

c.             Atas prakarsa Pengadilan Niaga, dalam hal :

1)             Debitor, selama waktu PKPU bertindak dengan itikad buruk dalam melakukan tindakan terhadap hartanya, atau Debitor telah merugikan atau telah bertindak/diindikasikan mencoba merugikan kreditornya,
2)             Debitor melakuak pelanggaran Pasal 240 ayat (1) UUK
3)             Debitor lalai melaksanakan tindakan – tindakan yang diwajibkan kepadanya oleh pengadilan pada saat atau sesudah PKPU diberikan, atau lalai melaksanakan tindakan tindakan yang diisyaratkan oleh pengurus demi kepentingan harta debitor.
4)             Selama waktu PKPU, keadaan harta debitor ternyata tidak lagi memungkinkan dilanjutkannya PKPU; atau
5)             Keadaan debitor tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya terhadap kreditor pada waktunya.

IX.                   PENGATURAN MEDIASI DI DALAM PENGADILAN NIAGA

1.             Ketentuan Mediasi Secara Umum

PERMA No.1 Tahun 2008 tentang Mediasi,  menimbang hal-hal sebagai-berikut :
”Bahwa hukum acara yang berlaku, baik Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg, mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di Pengadilan Negeri.”
Pasal 2 (3) PERMA No.1 Tahun 2008 menyatakan sebagai-berikut :

”Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.”
Meskipun demikian, di dalam PERMA tersebut diadakan pengecualian sebagaimana terlampir di dalam Pasal 4 sebagai berikut:
”Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator.” Dengan demikian, pengertian yang dimaksudkan disini bukan merupakan larangan (kewajiban).

2.             Ketentuan Mediasi di Pengadilan Niaga

Pengaturan mengenai mediasi di dalam perkara tersebut berdasarkan peraturan yang berlaku adalah sebagai berikut :

a.             Merk – Ps. 84 UU No. 15 Tahun 2001
b.             Hak cipta – Ps. 65 UU No.19 Tahun 2002
c.             Paten – Ps. 124 UU No. 14 Tahun 2001
d.             Transaksi elektronik – Pasal 42 UU No. 11 Tahun 2008

Seluruh peraturan di atas hanya mengatakan bahwa para pihak dapat menempuh jalur arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa. Dengan demikian, acara mediasi di dalam pengadilan niaga bukanlah suatu keharusan.

Di dalam UU No. 37 Tahun 2004 ada yang menyinggung tentang perdamaian sebagaimana tercantum di dalam Pasal 144 sebagai berikut:
“Debitor Pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua Kreditor.”
Berdasarkan pengertian ini, usaha perdamaian hanya merupakan hak dan bukan merupakan kewajiban dari hakim sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal 130 HIR.

X.                   AKIBAT HUKUM ATAS KEPAILITAN

Akibat Hukum Pernyataan Pailit Secara umum dengan adanta pernyataan pailit maka terhadap debitur pailit berlakulah hal-hal sebagai berikut :

1.             Terjadi sitaan umum terhadap harta kekayaan debitur pailit.
2.             Kepailitan ini semata-mata hanya mengenai harta kekayaan saja dan tidak mengenai diri pribadi si debitur pailit.
3.             Segala perikatan debitur pailit yang timbul setelah putusan pailit yang diucapkan tidak dapat dibayar dari harta pailit. Harta pailit diurus dan dikuasai kurator untuk kepentingan semua para kreditur dan debitur.
4.             Tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator (Pasal 26 ayat (1) UUK)
5.             Semua tuntutan atau gugatan yang bertujuan mendapatkan pelunasan dari harta pailit selama kepailitan harus diajukan dengan laporan untuk pencocokan utang (Pasal 27 UUK)
6.             Kreditur yang dijamin dengan Hak Gadai, Hak Tanggungan, Hak hipotik, jaminan fidusia dapat melaksanakan hak agunannya seolah-olah tidak ada kepailitan (Pasal 55 ayat(1) UUK) Pihak kreditur yang mempunyai hak menahan barang milik debitur pailit sampai dibayar tagihannya (hak retensi), tidak kehilangan hak untuk menahan barang debitur pailit tersebur meskipun ada putusan pailit (Pasal 61 UUK) 9) Hak eksekusi kreditur yang dijamin sebagaimana disebut dalam Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan (kreditur separatis/kreditur dengan jaminan khusus) dan pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitur pailit atau kurator.

XI.                   KESIMPULAN

1.             Bilamana suatu perusahaan dapat dikatakan pailit, menurut UU Kepailitan adalah jika suatu perusahaan memenuhi syarat-syarat yuridis kepailitan. Syarat-syarat tersebut menurut Pasal 2 UU Kepailitan meliputi adanya debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan.

2.         Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) diatur dalam bab ketiga Undang-Undang No.37 tahun 2004 yaitu dalam Pasal 224-294 UUK, yang merupakan wujud dari perdamaian melalui proses Mediasi yang telah disepakati oleh semua pihak.

3.       Mediasi bukanlah suatu kewajiban di dalam hukum acara pengadilan niaga melainkan hanya merupakan suatu pilihan dari para pihak saja, sehingga dengan tidak dilakukannya mediasi tidak akan mengakibatkan batalnya putusan pengadilan atas perkara yang bersangkutan.
Namun pada prakteknya hakim akan tetap menawarkan kepada para pihak untuk tetap melakukan mediasi hingga sebelum ada putusan atas perkara yang bersangkutan.





[1]           (Sutan Remy Sjahdeini, 1998:25) :
[2]           Rudy A Lontoh & et. al, 2001 : 159
[3]           Martiman Prodjohamidjojo.1999 : 17

[4]               (Ahmad Yani&Gunawan Widjaja, 2004 : 23-24)

[5]               Jono, 2008 : 86

Tidak ada komentar:

Posting Komentar