TUPOKSI, RUANG LINGKUP, HUKUM ACARA DAN KOMPETENSI
PENGADILAN NIAGA DI INDONESIA
AMSERVE
– Ary Brotodihardjo
I.
LATAR
BELAKANG
Peraturan mengenai
kepailitan telah ada sejak masa lampau, dimana para kreditor menggunakan pailit
untuk mengancam debitor agar segera melunasi hutangnya. Semakin pesatnya
perkembangan ekonomi menimbulkan semakin banyaknya permasalahan utang-piutang
di masyarakat.
Adanya dua buah peraturan kepilitan
yaitu Buku Ketiga KUHDagang yang mengatur tentang kepailitan bagi pedagang/pengusaha dan
ketentuan dalam Rv bagi mereka yang bukan pedagang/pengusaha dalam
pelaksanaannya telah menimbulkan banyak kesilutan, diantaranya ialah : [1]
1.
Banyak formalitas yang harus ditempuh
2.
Biaya tinggi
3.
Terlalu sedikit bagi kreditur untuk dapat ikut campur
terhadap jalannya proses kepailitan; dan
4.
Pelaksanaan kepilitan memakan waktu yang lama. Dengan
berlakunya Faillisementverodening/Peraturan Kepailitan (S. 1905-217 juncto S.
1906-348) tersebut, maka dicabutlah :
a.
Seluruh buku ketiga WvK/KUHDagang dan
b.
Reglement op de Rechtsvordering/Rv buku Ketiga, Bab
Ketujuh, pasal 899 sampai dengan Pasal 915.
Di Indonesia, pada
saat ini,
Undang-Undang yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan kepailitan
adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan”).
Pengadilan Niaga
sebagai Lembaga Penyelesaian Perkara Kepailitan
Pembentukan peradilan niaga yang pertama adalah Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tahun 1998.
Pembentukan peradilan niaga yang pertama adalah Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tahun 1998.
Pada
awalnya, kompetensi absolut Pengadilan Niaga terbatas hanya mengadili
perkara-perkara berdasarkan Undang-Undang Kepailitan yang baru. Namun pada
tahun 2001, kompetensi tersebut diperluas sehingga mencakup kewenangan untuk
mengadili perkara Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).
Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat merupakan satu diantara lima Pengadilan Niaga lainnya di
Indonesia. Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat adalah Pengadilan Niaga pertama yang dibentuk berdasarkan Pasal 306
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 jo Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 jo Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Keempat
lainnya yaitu di Semarang, Surabaya,
Medan dan Makassar yang didirikan
berdasarkan keputusan Presiden No. 97 Tahun 1999. Persidangan perkara di
Pengadilan Niaga adalah meliputi
perkara Kepailitan, PKPU dan gugatan dalam perkara perlindungan hak atas
kekayaan intelektual yaitu: hak cipta, merek, desain industri, desain tata
letak sirkuit terpadu dan paten.
II.
PENGERTIAN
KEPAILITAN DAN SYARAT KEPAILITAN
Pengertian dari
bangkrut atau pailit menurut Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan antara
lain, keadaan
dimana seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan bankrupt dan yang
aktivanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utang-utangnya.
Sedangkan, kepailitan
menurut UU Kepailitan diartikan sebagai sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit
yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan
Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.
Bilamana suatu perusahaan dapat
dikatakan pailit, menurut UU Kepailitan adalah
jika suatu perusahaan memenuhi syarat-syarat yuridis kepailitan. Syarat-syarat
tersebut menurut Pasal 2 UU Kepailitan meliputi adanya debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan.
Kreditor dalam hal ini adalah
kreditor baik konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen. Sedangkan
utang yang telah jatuh waktu berarti kewajiban untuk membayar utang yang telah
jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihan
sesuai perjanjian ataupun karena putusan pengadilan, arbiter atau majelis
arbitrase.
Permohonan pailit menurut UU
Kepailitan dapat diajukan oleh debitor, satu atau lebih kreditor, jaksa, Bank
Indonesia, Perusahaan Efek atau Perusahaan Asuransi.
III.
WILAYAH
HUKUM PENGADILAN NIAGA
Sesuai dengan KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 97 TAHUN 1999
TENTANG PEMBENTUKAN PENGADILAN NIAGA PADA PENGADILAN NEGERI UJUNG PANDANG,
PENGADILAN NEGERI MEDAN, PENGADILAN NEGERI SURABAYA, DAN PENGADILAN NEGERI
SEMARANG, adalah sebagai-berikut :
1.
Pasal 2 (1) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Ujung Pandang meliputi Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya.
2.
Pasal 2 (2) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Medan meliputi Wilayah Propinsi Sumatera Utara, Riau,
Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, dan Daerah Istimewa Aceh.
3.
Pasal 2 (3) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Surabaya meliputi Wilayah Propinsi Jawa Timur, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, dan Timor Timur.
4.
Pasal 2 (4) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Semarang meliputi Wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Daerah
Istimewa Yogyakarta.
5.
Pasal 5, Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat meliputi Wilayah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, Propinsi Jawa Barat, Sumatera Selatan, Lampung, dan Kalimantan Barat.
IV.
Kedudukan
dan Dasar Hukum Pengadilan niaga dalam
kepailitan
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 terdapat tambahan satu bab baru yaitu Bab Ketiga mengenai Pengadilan Niaga. Pembentukan peradilan khusus ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah kepailitan secara cepat dan efektif.
Pengadilan Niaga
merupakan diferensiasi atas peradilan umum yang dimungkinkan pembentukanya
berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan
kehakiman.
Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 yang merupakan pembaharuan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998,
tidak mengatur Pengadilan Niaga pada bab tersendiri, akan tetapi masuk pada Bab
V tentang Ketentuan Lain-lain mulai dari Pasal 299 sampai dengan Pasal 303.
Demikian juga dalam
penyebutannya pada setiap pasal cukup dengan menyebutkan kata “Pengadilan”
tanpa ada kata “Niaga” karena merujuk pada Bab I tentang Ketentuan Umum, Pasal
1 angka 7 bahwa Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam Lingkungan peradilan
umum.
Dasar Hukum Kepailitan :
Undang-undang
Kepailitan No. 37 Tahun 2004 Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 31.
Perundangan diluar UUK, adalah :
·
KUHPerdata, misalnya Pasal 1139, 1149, 1134 dan
lain-lain.
·
KUHPidana, misalnya Pasal 396,397,398,399,400,520 dan
lain-lain.
·
Undang-undang PT No.1 Tahun 1995, misalnya Pasal 79
ayat (3), Pasal 96, Pasal 85 ayat (1) dan (2), pasal 3 ayat (2) huruf b,c dan
d, Pasal 90 ayat (2) dan (3), Pasal (3), Pasal 98 ayat (1), dan lain-lain.
·
Undang-undang tentang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996.
e. Peraturan Perundang-undangan di bidang Pasar modal, Perbankan, Perusahaan
BUMN dan lain-lain.
V.
Tugas dan Wewenang Pengadilan
Niaga
Tugas dan Wewenang Pengadilan Niaga ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 diatur dalam Pasal 280, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 diatur pada Pasal 300. Pengadilan Niaga merupakan lembaga peradilan yang berada di bawah lingkungan Peradilan Umum yang mempunyai tugas sebagai berikut (Rahayu Hartini, 2008 : 258 ) :
1.
Memeriksa
dan memutuskan permohonan pernyataan pailit;
2.
Memeriksa
dan memutuskan
permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
3.
Memeriksa
perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya ditetapkan dengan
undang-undang, misalnya sengketa di bidang HAKI.
Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 juga mengatur tentang kewenangan Pengadilan Niaga dalam
hubungannya dengan perjanjian yang mengadung klausula arbitrase. Dalam Pasal
303 ditentukan bahwa Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan
permohonan pernyataan pailit dari pihak yang terikat perjanjian yang memuat
klausula arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan
pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
tentang syarat-syarat kepailitan.
Ketentuan pasal
tersebut dimaksudkan untuk memberi penegasan bahwa Pengadilan tetap berwenang
memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak,
sekalipun perjanjian utang piutang yang mereka buat memuat klausula arbitrase.
VI.
Kompetensi Pengadilan Niaga
1.
Kompetensi
Relatif
Kompetensi relatif
merupakan kewenangan atau kekuasaan mengadili antar Pengadilan Niaga.
Pengadilan Niaga sampai saat ini baru ada lima. Pengadilan Niaga tersebut
berkedudukan sama di Pengadilan Negeri. Pengadilan Niaga hanya berwenang
memeriksa dan memutus perkara pada daerah hukumnya masing-masing.
Pasal 3
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa putusan atas permohonan
pernyataan pailit diputus oleh Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi
daerah tempat kedudukan hukum Debitor, apabila debitor telah meninggalkan
wilayah Negara Republik Indonesia, maka Pengadilan yang berwenang menjatuhkan
putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir Debitor.
Dalam hal debitor
adalah pesero suatu firma, Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
hukum firma tersebut juga berwenang memutuskan.
Debitur yang tidak
berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi
atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang
adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor
pusat Debitor menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik
Indonesia. Dalam hal Debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya
adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya.[2]
2.
Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut merupakan kewenangan memeriksa dan mengadili antar badan peradilan. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur tentang badan peradilan beserta kewenangan yang dimiliki. Pengadilan Niaga merupakan pengadilan khusus yang berada di bawah Pengadilan umum yang diberi kewenangan untuk memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Selain itu, menurut
Pasal 300 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, Pengadilan Niaga juga
berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang
penetapannya dilakukan dengan undang-undang. Perkara lain di bidang perniagaan
ini misalnya, tentang gugatan pembatalan paten dan gugatan penghapusan
pendaftaran merek. Kedua hal tersebut masuk ke dalam bidang perniagaan dan
diatur pula dalam undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang
Paten dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
Dengan kompetensi
absolut ini maka hanya Pengadilan Niaga sebagai satu-satunya badan peradilan
yang berhak memeriksa dan memutus perkara-perkara tersebut.[3]
3.
Kompetensi
Ketua Mahkamah Agung
Ketua Mahkamah
Agung mempunyai kewajiban untuk melakukan
pembinaan dan pembimbingan dan
mempunyai wewenang untuk mengambil langkah-langkah dalam rangka menerapkan
prinsip-prinsip hukum peradilan pada peradilan niaga, antara lain:
a.
Prinsip
kesinambungan
Penyelenggaraan
persidangan dalam pengadilan
niaga harus dilakukan berkesinambungan,
b.
Prinsip
persidangan yang baik
Putusan yang akan dibacakan oleh pengadilan niaga harus sudah dibuat secara tertulis.
c.
Prinsip
pengarsipan
Putusan dapat
diterbitkan secara berkala.
VII.
Hukum
Acara di Pengadilan Niaga
Pasal 299 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa “kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata (HIR/RBg).” Hukum acara yang dipakai Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan pada dasarnya tetap berpedoman pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 ..
Hukum acara di Pengadilan
Niaga dalam perkara kepailitan mempunyai ciri yang berbeda, antara lain
(Martiman Prodjohamidjojo, 1999 : 11-13) :
1.
Acara
dengan Surat :
Acara perdata di muka Pengadilan Niaga berlaku dengan tulisan atau surat (schiftelijke procedure). Acara dengan surat berarti bahwa pemeriksaan perkara pada pokoknya berjalan dengan tulisan. Akan tetapi, kedua belah pihak mendapat kesempatan juga untuk menerangkan kedudukannya dengan lisan.
2.
Kewajiban dengan Bantuan Ahli
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mewajibkan bantuan seorang ahli hukum. Adapun dasar yang menjadi pertimbangan ketentuan tersebut adalah bahwa di dalam suatu proses kepailitan dimana memerlukan pengetahuan tentang hukum dan kecakapan teknis, perlu kedua pihak yang bersengketa dibantu oleh seorang atau beberapa ahli yang memiliki kemampuan teknis, agar segala sesuatunya berjalan dengan layak dan wajar.
3.
Model Liberal-Individualistis
Hukum acara dalam proses kepailitan berpangkal pada pendirian bahwa hakim pada intinya pasif. Hakim hanya mengawasi supaya peraturan-peraturan acara yang ditetapkan dengan undang-undang dijalankan oleh kedua belah pihak. Acara demikian adalah model liberal-individualistis.
4.
Pembuktian Sederhana
Pemeriksaan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga berlangsung lebih cepat, hal ini dikarenakan Undang-Undang Kepailitan memberikan batasan waktu proses kepailitan. Selain itu, lebih cepatnya waktu pemeriksaan perkara di Pengadilan Niaga antara lain dipengaruhi oleh sistem pembuktian yang dianut, yaitu bersifat sederhana atau pembuktian secara sumir, ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan.
Permohonan
pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta yang terbukti secara
sederhana bahwa pernyataan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi. Pembuktian
hanya meliputi syarat untuk dapat dipailitkan yaitu, adanya utang yang telah
jatuh tempo dan dapat ditagih, adanya kreditor yang lebih dari satu serta
adanya fakta bahwa debitor atau termohon pailit telah tidak membayar utangnya.
Sifat pembuktian
yang sederhana dapat digunakan hakim niaga sebagai alasan untuk menolak
permohonan pailit yang diajukan kepadanya. Hakim dapat menyatakan bahwa perkara
yang diajukan itu adalah perkara perdata biasa. Jika suatu perkara
dikategorikan hakim niaga sebagai perkara yang pembuktiannya berbelit-belit,
maka hakim dapat menyatakan bahwa kasus itu bukan kewenangan Pengadilan Niaga.
5.
Waktu pemeriksaan yang terbatas
Pembaharuan yang tak kalah penting dari Undang-Undang Kepailitan ialah tentang pemeriksaan yang dibatasi waktunya. Undang-Undang Kepailitan menentukan batas waktu pemeriksaan serta tenggang waktu yang pasti tentang hari putusan pailit harus diucapkan.
Pasal 8 ayat (5)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa Putusan Pengadilan atas
permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari
setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.
6.
Putusan bersifat serta merta
(UVB)
Menurut Pasal 8 ayat (7) Undang-Undang Kepailitan, putusan atas permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut masih diajukan upaya hukum. Undang-Undang Kepailitan mewajibkan kurator untuk melaksanakan segala tugas dan kewenangannya untuk mengurus dan atau membereskan harta pailit terhitung sejak putusan pernyataan pailit ditetapkan. Meskipun putusan pailit tersebut di kemudian hari dibatalkan oleh suatu putusan yang secara hierarkhi lebih tinggi.[4]
Semua kegiatan
pengurusan dan pemberesan oleh kurator yang telah dilakukan terhitung sejak
putusan kepailitan dijatuhkan hingga putusan tersebut dibatalkan, tetap
dinyatakan sah oleh undang-undang.
7.
Klausula Arbitrase
Eksistensi Pengadilan Niaga, sebagai Pengadilan yang dibentuk berdasarkan Pasal 280 ayat (1) Perpu No. 1 tahun 1998 memiliki kewenangan khusus berupa yurisdiksi substansif eksklusif terhadap penyelesaian perkara kepailitan. Yurisdiksi substansif eksklusif tersebut mengesampingkan kewenangan absolut dari Arbitrase sebagai pelaksanaan prinsip pacta sunt servanda yang digariskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang telah memberikan pengakuan extra judicial atas klausula Arbitrase untuk menyelesaikan sengketa para pihak sebagaimana telah diperjanjikan.
Sehingga,
walaupun dalam perjanjian telah disepakati cara penyelesaian sengketa melalui
arbitrase, Pengadilan Niaga tetap memiliki kewenangan memeriksa dan memutus.
Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 300 Undang-Undang Kepailitan.
8.
Tidak tersedia Upaya Banding
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007 dengan tegas menyatakan bahwa Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung. Jadi, terhadap putusan pada Pengadilan Niaga tingkat pertama tidak dapat diajukan upaya hukum banding.
9.
Hakim Pengadilan Niaga
Pengadilan Niaga dalam memeriksa dan memutus perkara Kepailitan atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pada tingkat pertama dilakukan oleh Majelis Hakim. Dalam hal menyangkut perkara lain di bidang perniagaan, Ketua Mahkamah Agung dapat menetapkan jenis dan nilai perkara yang pada tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal, ketentuan ini terdapat dalam Pasal 301 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004.
Hakim Pengadilan
Niaga diangkat melalui Keputusan Ketua Mahkamah Agung. Syarat Untuk dapat
diangkat menjadi Hakim Niaga harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 302, antara
lain :
a.
Telah
berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan Peradilan Umum;
b.
Mempunyai
dedikasi dan mengusai pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi
lingkup kewenangan Pengadilan Niaga;
c.
Berwibawa,
jujur, adil, dan berkelakukan tidak tercela; dan
d.
Telah
berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada Pengadilan.
Ketentuan-ketentuan
di atas hanyalah dapat dipenuhi oleh hakim karier saja, namun Undang-Undang
Kepailitan juga memberikan peluang adanya hakim Ad Hoc dengan syarat-syarat
sebagai berikut :
a.
Mempunyai
keahlian;
b.
Mempunyai
dedikasi dan mengusai pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi
lingkup kewenangan Pengadilan Niaga;
c.
Berwibawa,
jujur, adil,dan berkelakukan tidak tercela; dan
d.
Telah
berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada Pengadilan.
Berbeda dengan
hakim karier, pengangkatan hakim ad hoc tersebut berdasarkan Keputusan Presiden
atas usul Ketua Mahkamah Agung baik pada tingkat pertama, kasasi maupun
peninjauan kembali. Dalam menjalankan tugasnya, hakim pengadilan niaga dibantu
oleh seorang panitera atau panitera pengganti dan juru sita.[5]
VIII.
PKPU
(PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG)
Tentang penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) diatur dalam bab ketiga
Undang-Undang No.37 tahun 2004 yaitu dalam Pasal 224-294 UUK.
1.
Maksud dan Tujuan PKPU
Dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepad kreditor.
Pasal 222 UUK ini dapat diartikan bahwa maksud dari penundaan kewajiban
pembayaran utang pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi
tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditur konkuren,
sedangkan tujuannya adalah untuk kreditur konkuren, sedangkan tujuannya adalah
untuk memungkinkan seseorang debitor meneruskan usahanya meskipun ada kesukaran
pembayaran dan untuk menghindari kepailitan.
Yang berhak mengajukan PKPU (permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang) adalah :
a.
Debitor
b.
Kreditor
c.
Bank Indonesia dalam hal debitor adalah bank
d.
Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) dalam hal debitor
adalah perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
e.
Menteri keuangan dalam hal debitor adalah Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) yang bergerak di bidang kepentingan public.
2.
Akibat putusan PKPU
Dengan dikabulkannya permohonan PKPU (PKPU
sementara) maka berlakulah hal-hal sebagai berikut :
a.
Selama PKPU berlangsung, terhadap debitor tidak dapat
diajukan permohonan pailit.
b.
Diangkat seorang Hakim Pengawas yang tugasnya mirip
dengan Hakim Pengawas dalam Kepailitan,
c.
Diangkatnya seorang atau lebih pengurus yang bertugas
melakukan pengawasan terhadap kekayaan debitor,
d.
Debitor tetap dapat melakukan tindakan pengurusan dan
pengalihan atas kekayaanya asalkan mendapat persetujuan pengurus,
e.
Tindakan debitor atas kekayaannya tanpa persetujuan
Pengurus adalah tidak mengikat kekayaannya.
3.
Berakhirnya PKPU
a.
Atas permintaan hakim pengawas,
b.
Atas permintaan satu atau lebih kreditor,
c.
Atas prakarsa Pengadilan Niaga, dalam hal :
1)
Debitor, selama waktu PKPU bertindak dengan itikad
buruk dalam melakukan tindakan terhadap hartanya, atau Debitor telah merugikan atau telah bertindak/diindikasikan mencoba merugikan
kreditornya,
2)
Debitor melakuak pelanggaran Pasal 240 ayat (1) UUK
3)
Debitor lalai melaksanakan tindakan – tindakan yang
diwajibkan kepadanya oleh pengadilan pada saat atau sesudah PKPU diberikan,
atau lalai melaksanakan tindakan tindakan yang diisyaratkan oleh pengurus demi
kepentingan harta debitor.
4)
Selama waktu PKPU, keadaan harta debitor ternyata
tidak lagi memungkinkan dilanjutkannya PKPU; atau
5)
Keadaan debitor tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya terhadap kreditor pada waktunya.
IX.
PENGATURAN MEDIASI DI DALAM
PENGADILAN NIAGA
1.
Ketentuan Mediasi Secara Umum
PERMA No.1 Tahun
2008 tentang Mediasi, menimbang hal-hal
sebagai-berikut :
”Bahwa hukum acara
yang berlaku, baik Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg, mendorong para pihak
untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara
mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di Pengadilan
Negeri.”
Pasal 2 (3) PERMA
No.1 Tahun 2008 menyatakan sebagai-berikut :
”Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.”
Meskipun demikian,
di dalam PERMA tersebut diadakan pengecualian sebagaimana terlampir di dalam
Pasal 4 sebagai berikut:
”Kecuali perkara
yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan
industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan
keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, semua sengketa perdata
yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan
penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator.” Dengan
demikian, pengertian yang
dimaksudkan disini bukan merupakan larangan (kewajiban).
2.
Ketentuan Mediasi di Pengadilan
Niaga
Pengaturan mengenai
mediasi di dalam perkara tersebut berdasarkan peraturan yang berlaku adalah
sebagai berikut :
a.
Merk
– Ps. 84 UU No. 15 Tahun 2001
b.
Hak
cipta – Ps. 65 UU No.19 Tahun 2002
c.
Paten
– Ps. 124 UU No. 14 Tahun 2001
d.
Transaksi
elektronik – Pasal 42 UU No. 11 Tahun 2008
Seluruh
peraturan di atas hanya mengatakan bahwa para pihak dapat menempuh jalur
arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa. Dengan demikian, acara
mediasi di dalam pengadilan niaga bukanlah suatu keharusan.
Di dalam UU No. 37
Tahun 2004 ada yang menyinggung tentang perdamaian sebagaimana tercantum di
dalam Pasal 144 sebagai berikut:
“Debitor Pailit
berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua Kreditor.”
Berdasarkan
pengertian ini, usaha perdamaian hanya merupakan hak dan bukan merupakan
kewajiban dari hakim sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal 130 HIR.
X.
AKIBAT
HUKUM ATAS KEPAILITAN
Akibat
Hukum Pernyataan Pailit Secara umum dengan adanta pernyataan pailit maka
terhadap debitur pailit berlakulah hal-hal sebagai berikut :
1.
Terjadi sitaan umum terhadap harta kekayaan debitur
pailit.
2.
Kepailitan ini semata-mata hanya mengenai harta
kekayaan saja dan tidak mengenai diri pribadi si debitur pailit.
3.
Segala perikatan debitur pailit yang timbul setelah
putusan pailit yang diucapkan tidak dapat dibayar dari harta pailit. Harta
pailit diurus dan dikuasai kurator untuk kepentingan semua para kreditur dan
debitur.
4.
Tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta
pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator (Pasal 26 ayat (1) UUK)
5.
Semua tuntutan atau gugatan yang bertujuan mendapatkan
pelunasan dari harta pailit selama kepailitan harus diajukan dengan laporan
untuk pencocokan utang (Pasal 27 UUK)
6.
Kreditur yang dijamin dengan Hak Gadai, Hak
Tanggungan, Hak hipotik, jaminan fidusia dapat melaksanakan hak agunannya
seolah-olah tidak ada kepailitan (Pasal 55 ayat(1) UUK) Pihak kreditur yang
mempunyai hak menahan barang milik debitur pailit sampai dibayar tagihannya
(hak retensi), tidak kehilangan hak untuk menahan barang debitur pailit tersebur
meskipun ada putusan pailit (Pasal 61 UUK) 9) Hak eksekusi kreditur yang
dijamin sebagaimana disebut dalam Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan (kreditur
separatis/kreditur dengan jaminan khusus) dan pihak ketiga untuk menuntut
hartanya yang berada dalam penguasaan debitur pailit atau kurator.
XI.
KESIMPULAN
1.
Bilamana
suatu perusahaan dapat dikatakan pailit, menurut UU Kepailitan adalah jika
suatu perusahaan memenuhi syarat-syarat yuridis kepailitan. Syarat-syarat
tersebut menurut Pasal 2 UU Kepailitan meliputi adanya debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan.
2. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) diatur dalam bab ketiga Undang-Undang No.37 tahun
2004 yaitu dalam Pasal 224-294 UUK, yang merupakan wujud dari perdamaian melalui proses
Mediasi yang telah disepakati oleh semua pihak.
3. Mediasi
bukanlah suatu kewajiban di dalam hukum acara pengadilan niaga melainkan hanya
merupakan suatu pilihan dari para pihak saja, sehingga dengan tidak
dilakukannya mediasi tidak akan mengakibatkan batalnya putusan pengadilan atas
perkara yang bersangkutan.
Namun pada
prakteknya hakim akan tetap menawarkan kepada para pihak untuk tetap melakukan
mediasi hingga sebelum ada putusan atas perkara yang bersangkutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar